Musim Beduk di Kampung Betawi
Musim beduk tidak peduli apa partai dan siapa capresnya. |
‘’Lagi musim apaan Nyak?’’ tanya saya kepada Bu Romlah, kenalan saya warga Tanah Abang, Jakarta Pusat.
‘’Musim beduk,’’ jawab Bu Romlah.
‘’Haah? Musim beduk? Kayak buah-buahan aje?’’ tanya saya setengah heran.
‘’Emangnye hanya duren yang punye musim? Beduk juga ade
musimnye,’’ jawab Bu Rumlah, dengan gaya bercanda khas Betawi.
Tadi sore saya menyempatkan lewat Tanah Abang. Saya penasaran seperti apa suasana musim beduk di Kampung Betawi itu.
Dari arah Cideng hingga Pasar Tanah Abang, musim beduk belum
terlihat. Kompleks perniagaan yang terkenal hingga ke manca negara itu mulai sepi.
Beberapa orang
terlihat menutup tokonya. ‘’Buka lagi tanggal 4 Agustus 2014,’’ bunyi sebuah
spanduk mini yang ditempel di rolling door sebuah toko baju muslim.
Mengangkut beduk dengan bajaj |
Musim beduk baru terasa ketika keluar dari pasar Tanah Abang.
Beberapa orang memajang beduk aneka ukuran di sepanjang jalan. Ada beduk yang berbahan
tong bekas. Ada juga beduk yang bahannya kayu.
Beduk dari drum bekas ukuran paling kecil dijual dengan harga
Rp 250 ribu. Kalau yang berbahan kayu lebih mahal, sekitar Rp 500.000.
Beduk terbesar dijual dengan harga Rp 7 juta untuk yang
berbahan kayu. Bila menggunakan bahan drum bekas, harga bisa separohnya. ‘’Beduk
kayu suaranya lebih empuk. Nadanya adem,’’ kata penjual beduk dari kayu.
‘’Harga bisa ditawar Bos?’’ tanya saya.
‘’Kawin aje bise, apalagi beduk,’’ jawab penjual
beduk itu dengan nada bercanda yang khas Betawi.
Komentar
Posting Komentar