Hilangnya Trotoar di Kota Jakarta




Dua tahun lalu, tukang bubur kacang hijau di sudut pertigaan Jalan Kebayoran Lama itu hanya mangkal setiap malam. Menempati sepetak tanah di jalur pejalan kaki, gerobak dorongnya hilang dari pagi hingga petang.

Setahun lalu, gerobak dorong itu mangkal pagi, siang, sore dan malam. Pedagang bubur kacang hijau itu kemudian menambahi pangkalannya dengan selembar kain dengan tulisan ‘’Jual Bubur Kacang Hijau dan Ketan Hitam’’. Selain untuk promosi juga untuk penahan panas, hujan dan debu-debu yang beterbangan tersapu arus kendaraan.

Sejak itu, pejalan kaki menjadi susah melintas. Mereka harus melangkah di jalur kendaraan. Kenyamanan pejalan kaki berubah menjadi ancaman kecelakaan lalu lintas. Kelancaran lalu lintas terganggu dengan kemacetan.

Di belakang RSPAD Gatot Subroto lebih parah lagi. Warung makan kaki lima yang mangkal di situ sekarang sudah membangun warung berdinding bata di atas trotoar.

Hampir setiap hari saya lewati jalur itu. Beberapa bulan lalu, pemilik warung merenovasi tempat jualannya. Temboknya dipercantik dengan porselen.

Mungkin karena dirasa kurang luas, warungnya diberi emperan yang memakan semeter badan jalan. Masih kurang luas juga, di depan emperan ditata beberapa pot bunga agar tidak ada mobil parkir di situ. Jadilah badang jalan hilang dua meter. Pada jam-jam padat lalu lintas, titik itu menjadi sumber kemacetan.

Mengamati proses hilangnya banyak trotoar di Jakarta, sepertinya polanya sama. Awalnya coba-coba mangkal, ternyata tidak ada penolakan lingkungan serta tidak ada penertiban. Maka, keberanian pedagang itu meningkat. Dicoba lagi dengan membangun semi permanen, ternyata juga aman-aman saja. Maka, pedagangnya semakin berani dengan membangun secara permanen.

Hilangnya trotoar itu beberapa kali dipersoalkan warga. Mereka bahkan sampai menggelar aksi demo dengan tidur-tiduran segala. Tapi, begitulah kenyataannya. Seperti pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, demo para pemerhati pedestrian itu seakan ditelan angin lalu.

Pemerintah Daerah DKI Jakarta seharusnya tidak boleh membiarkan jalur trotoar lenyap dikuasai para pedagang kaki lima dan tukang parkir liar. Untuk apa memiliki ribuan tenaga ketentraman dan ketertiban (Trantib) kalau setiap hari jumlah luas trotoarnya semakin berkurang?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Berita Video ke Redaksi TV

Panduan Praktis Menulis Biografi

Peluang Bisnis Tahu Nigarin Organik