Dari Dendam Menjadi Juragan
KISAH INSPIRATIF HAJI DONI
Tak selamanya dendam itu berkonotasi negatif. Setidaknya itulah yang diyakini Haji Doni. Karena dendamnya pada kehidupan masa kecilnya yang miskin, Doni sekarang menjadi pengusaha sapi yang sukses. Untuk melayani kebutuhan hewan qurban tahun 2014, Doni menggemukkan 8.000 ekor sapi!
Doni lahir dari keluarga miskin pada tahun 1965. Sejak usia 6 tahun, Doni harus membantu ibunya berjualan nasi uduk keliling kampung, di Tebet, Jakarta Selatan. ‘’Ibu menjual nasi uduk dengan tampah yang ditaruh di kepala karena tidak sanggup menyewa warung,’’ kenang Doni.
Suatu ketika, Doni kecil melihat orang yang menjual daging. Keinginannya untuk makan daging tiba-tiba muncul begitu saja. Maka, sambil menenteng bakul berisi lauk nasi uduk, Doni pun bertanya kepada ibunya.
‘’Nyak, mengapa Enyak tidak pernah masak daging sapi? Tiap hari hanya masak ikan asin, gereh dan tempe melulu?’’ tanya Doni dengan polosnya.
Mendengar pertanyaan itu, sang ibu tertegun. ‘’Kita tidak sanggup membeli daging sapi. Harganya sangat mahal. Uang kita tidak cukup,’’ kata sang ibu.
Itulah saat pertama Doni yang masih bocah mengenal arti kata ‘’miskin’’, yaitu tidak sanggup membeli daging sapi untuk makan. ‘’Nanti kalau sudah besar saya akan menjadi pedagang daging sapi. Biar kita bisa makan daging sapi setiap hari,’’ kata Doni setelah mendengar jawaban ibunya.
Untuk mewujudkan tekatnya berjualan daging sapi, Doni harus mencari uang. Kebetulan, ada tetangga rumahnya yang cukup mampu. Doni menawarkan jasa mengisi bak mandi dengan menimba dari sumur. Setiap hari Doni mendapat upah Rp 5 untuk mengisi bak mandi keluarga tersebut.
‘’Zaman itu belum ada mesin pompa air. Semua masih menimba air dari sumur. Saya mendapat upah Rp 5 setiap hari. Jumlah yang cukup besar saat itu,’’ kenang Doni.
Dengan tabungan hasil menimba air selama tiga tahun, Doni mulai mewujudkan cita-citanya menjadi pedagang daging sapi. ‘’Karena modal terbatas, saya membeli daging sedikit kemudian saya jual dengan alas tampah. Belum punya kios,’’ kisah Doni.
Tanpa dinyana, banyak orang yang membeli dagangannya. ‘’Mungkin mereka kasihan melihat anak kecil usia 11 tahun sudah harus bekerja menjual daging,’’ kata Doni sembari tertawa.
Namanya berjualan, kadang kala dagangan habis terjual. Kadang-kadang tidak. Sisa daging yang tidak laku dibawa pulang Doni untuk diberikan kepada ibunya. ‘’Itulah saat kami makan daging sapi untuk pertama kalinya,’’ ujar Doni.
Berkat berdagang daging sapi, kehidupan Doni mulai membaik. Suatu hari, dagangan Doni habis. Tapi Doni ingin menikmati lezatnya semur ayam. Dari sebagian keuntungannya, Doni pun membeli seekor ayam untuk ibunya.
Harumnya aroma semur ayam masakan sang ibu menyebar hingga ke tetangga. Bersamaan dengan itu, ada tetangga yang kehilangan seekor ayam. Tetangga tersebut kemudian datang ke rumah Doni karena menduga semur ayam itu berasal dari ayamnya yang hilang.
‘’Hati saya merasa sakit. Sekali-sekalinya ibu saya memasak semur ayam, datang tetangga yang menanyakan apakah yang dimasak itu ayamnya yang hilang. Tetangga itu sampai minta menunjukkan bulu ayam yang dimasak ibu saya,’’ terang Doni dengan nada kelu.
Walau Doni sudah menjelaskan bahwa ayam itu dibelinya di pasar dari keuntungannya menjual daging sapi, tetangga itu tidak mau percaya. Akhirnya Doni harus menggadaikan barang untuk modal berdagang. Uang hasil penjualannya dipakai untuk mengganti ayam milik tetangga yang hilang. Walau Doni tidak pernah tahu di mana perginya ayam itu.
‘’Tidak mudah hidup sebagai orang miskin. Harus banyak sabar dan mengalah,’’ kata sang ibu kepada Doni.
Nasihat sang ibu melecutkan niatnya untuk sesegera mungkin keluar dari kemiskinan.
Setelah enam tahun berjualan daging sapi, Doni sudah memiliki kios daging dan beberapa karyawan. Doni juga sudah memiliki 8 ekor sapi. ‘’Usia saya masih 17 tahun ketika karyawan memanggil saya boss,’’ kata Doni sembari tertawa terkekeh-kekeh.
Dengan ketekunannya berbisnis daging sapi, kehidupan Doni kian moncer. Dendamnya pada kemiskinan mulai terbayar ketika bisa membeli rumah dan tanah di sekelilingnya. ‘’Alhamdulillah, saya bisa membeli beli rumah dan tanah milik tetangga di kiri dan kanan untuk kandang sapi karena sapi saya makin banyak,’’ jelas Doni.
Di atas tanah itulah, Doni sejak 2004 memelihara sapi istimewa. Semuanya sapi untuk kebutuhan hari raya qurban. Jumlah sapi di kandang Cisalak ada 2 ribu ekor. ‘’Sapi qurban harus dipelihara secara khusus, tidak seperti sapi potong biasa,’’ jelas Haji Doni.
Persaingan di bisnis sapi qurban ternyata sangat keras. Selain Doni, ada ratusan pedagang sapi lain dengan masa penjualan yang relatif pendek. Hanya sekitar satu bulan saja.
Pada musim qurban 2010, Doni membuat heboh dunia bisnis hewan qurban, dengan menghadirkan pusat penjualan hewan qurban yang disebut ‘’Mall Hewan Qurban’’. Disebut mall karena sapi qurban itu dipajang di sebuah show room yang representatif.
Doni nekat menggunakan show room mobil miliknya di Depok untuk memajang aneka model sapi qurban koleksinya. Dari sapi seberat 300 kilogram hingga 1,5 ton dipamerkan di sana. Show room sapi qurban itu dilayani sejumlah pramuniaga cantik dengan kostum cowboy sambil menenteng i-pad.
Apa yang bisa diperlihatkan dari ipad? ‘’Ipad itu sebenarnya untuk monitoring RFID. Karena sapinya ribuan, setiap sapi harus dipasangi RFID. Dengan RFID, sapi yang sudah dibeli tidak akan tertukar pada saat dikirim,’’ jelas Doni.
Gara-gara Mall Hewan Qurban, Doni akhirnya dijuluki ‘’Juragan Sapi Qurban’’. Namanya melambung karena diliput media di dalam dan luar negeri. Doni bahkan diundang media ke Australia dan Eropa untuk wawancara khusus dengan radio dan televisi setempat. ‘’Padahal saya tidak bisa berbahasa Inggris,’’ kata Doni.
Liputan media itu diakui Doni membuat bisnis hewan qurban yang digelutinya menjadi terkenal. Permintaan hewan qurban pun meningkat dari tahun ke tahun. Menjelang qurban tahun 2014, Doni menyediakan 8.000 ekor sapi. Kandangnya tidak hanya di Cisalak, tetapi tersebar di Probolinggo, Jawa Timur, Ponorogo, Jawa Timur dan Lampung. Investasi yang ditanam di bisnis sapi qurban sudah lebih dari Rp 100 miliar.
Doni menyediakan sapi dengan berbagai ukuran dan jenis. Ada sapi lokal seperti sapi Jawa, Madura dan Bali untuk ukuran medium dengan berat sekitar 300 kilogram per ekor. Ada juga sapi hasil silangan lokal dengan bibit sapi pedaging impor dengan berat di atas 400 kilogram. Ada juga sapi-sapi ras pedaging impor yang beratnya di atas 1.5 ton! (baca: http:// jokointarto.blogspot.com/ 2014/08/ menjual-sapi-qurban-berkual itas.html)
Untuk qurban tahun 2014, Haji Doni menjual sapi dengan rentang harga mulai Rp 13.750.000 per ekor hingga Rp 235.000.000 per ekor. ‘’Harga sapi yang termahal adalah sapi Albino dari Belanda. Ini sapi sangat langka. Saya hanya punya 5 ekor saja,’’ kata Doni (baca: http:// jokointarto.blogspot.com/ 2014/08/ corat-coret-berapa-harga-wa jar-hewan.html)
Haji Doni saat ini tinggal di Cisalak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bersama keluarganya. Anak sulungnya sudah kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Anak bungsunya masih berusia 6 tahun. Tidak ada yang pernah menyangka, bisnisnya yang beromset ratusan miliar itu pernah diawali dengan menggadaikan barang.
Jumat (22/8 lalu) saya menemui Haji Doni di showroomnya bersama kawan-kawan Lazismu. Dalam perbincangan selama dua jam, Doni menawarkan peluang bisnis menjadi reseller sapi qurban. Harga yang dipasarkan reseller sama dengan harga yang ditetapkan Haji Doni. Reseller mendapat komisi penjualan.
Peluang itu tentu saja tidak saya sia-siakan. Apalagi pada 2001 - 2004, saya juga selalu berjualan sapi setiap hari raya qurban. Saya menjual sapi di kompleks RPH Mampang, Jakarta Selatan. Berkumpul bersama puluhan pedagang sapi di sana selama sepuluh hari.
Selain mencari peluang kerjasama, kedatangan saya ke show room Haji Doni juga untuk meminta izin wawancara sebagai salah satu naras umber buku baru yang akan saya tulis bersama Anab Afifi. Buku baru tersebut berkisah tentang orang-orang yang sukses berawal dari modal gadai. Buku ini akan selesai bulan September 2014 dan siap cetak bulan Oktober 2014
Tak selamanya dendam itu berkonotasi negatif. Setidaknya itulah yang diyakini Haji Doni. Karena dendamnya pada kehidupan masa kecilnya yang miskin, Doni sekarang menjadi pengusaha sapi yang sukses. Untuk melayani kebutuhan hewan qurban tahun 2014, Doni menggemukkan 8.000 ekor sapi!
Doni lahir dari keluarga miskin pada tahun 1965. Sejak usia 6 tahun, Doni harus membantu ibunya berjualan nasi uduk keliling kampung, di Tebet, Jakarta Selatan. ‘’Ibu menjual nasi uduk dengan tampah yang ditaruh di kepala karena tidak sanggup menyewa warung,’’ kenang Doni.
Suatu ketika, Doni kecil melihat orang yang menjual daging. Keinginannya untuk makan daging tiba-tiba muncul begitu saja. Maka, sambil menenteng bakul berisi lauk nasi uduk, Doni pun bertanya kepada ibunya.
‘’Nyak, mengapa Enyak tidak pernah masak daging sapi? Tiap hari hanya masak ikan asin, gereh dan tempe melulu?’’ tanya Doni dengan polosnya.
Mendengar pertanyaan itu, sang ibu tertegun. ‘’Kita tidak sanggup membeli daging sapi. Harganya sangat mahal. Uang kita tidak cukup,’’ kata sang ibu.
Itulah saat pertama Doni yang masih bocah mengenal arti kata ‘’miskin’’, yaitu tidak sanggup membeli daging sapi untuk makan. ‘’Nanti kalau sudah besar saya akan menjadi pedagang daging sapi. Biar kita bisa makan daging sapi setiap hari,’’ kata Doni setelah mendengar jawaban ibunya.
Untuk mewujudkan tekatnya berjualan daging sapi, Doni harus mencari uang. Kebetulan, ada tetangga rumahnya yang cukup mampu. Doni menawarkan jasa mengisi bak mandi dengan menimba dari sumur. Setiap hari Doni mendapat upah Rp 5 untuk mengisi bak mandi keluarga tersebut.
‘’Zaman itu belum ada mesin pompa air. Semua masih menimba air dari sumur. Saya mendapat upah Rp 5 setiap hari. Jumlah yang cukup besar saat itu,’’ kenang Doni.
Dengan tabungan hasil menimba air selama tiga tahun, Doni mulai mewujudkan cita-citanya menjadi pedagang daging sapi. ‘’Karena modal terbatas, saya membeli daging sedikit kemudian saya jual dengan alas tampah. Belum punya kios,’’ kisah Doni.
Tanpa dinyana, banyak orang yang membeli dagangannya. ‘’Mungkin mereka kasihan melihat anak kecil usia 11 tahun sudah harus bekerja menjual daging,’’ kata Doni sembari tertawa.
Namanya berjualan, kadang kala dagangan habis terjual. Kadang-kadang tidak. Sisa daging yang tidak laku dibawa pulang Doni untuk diberikan kepada ibunya. ‘’Itulah saat kami makan daging sapi untuk pertama kalinya,’’ ujar Doni.
Berkat berdagang daging sapi, kehidupan Doni mulai membaik. Suatu hari, dagangan Doni habis. Tapi Doni ingin menikmati lezatnya semur ayam. Dari sebagian keuntungannya, Doni pun membeli seekor ayam untuk ibunya.
Harumnya aroma semur ayam masakan sang ibu menyebar hingga ke tetangga. Bersamaan dengan itu, ada tetangga yang kehilangan seekor ayam. Tetangga tersebut kemudian datang ke rumah Doni karena menduga semur ayam itu berasal dari ayamnya yang hilang.
‘’Hati saya merasa sakit. Sekali-sekalinya ibu saya memasak semur ayam, datang tetangga yang menanyakan apakah yang dimasak itu ayamnya yang hilang. Tetangga itu sampai minta menunjukkan bulu ayam yang dimasak ibu saya,’’ terang Doni dengan nada kelu.
Walau Doni sudah menjelaskan bahwa ayam itu dibelinya di pasar dari keuntungannya menjual daging sapi, tetangga itu tidak mau percaya. Akhirnya Doni harus menggadaikan barang untuk modal berdagang. Uang hasil penjualannya dipakai untuk mengganti ayam milik tetangga yang hilang. Walau Doni tidak pernah tahu di mana perginya ayam itu.
‘’Tidak mudah hidup sebagai orang miskin. Harus banyak sabar dan mengalah,’’ kata sang ibu kepada Doni.
Nasihat sang ibu melecutkan niatnya untuk sesegera mungkin keluar dari kemiskinan.
Setelah enam tahun berjualan daging sapi, Doni sudah memiliki kios daging dan beberapa karyawan. Doni juga sudah memiliki 8 ekor sapi. ‘’Usia saya masih 17 tahun ketika karyawan memanggil saya boss,’’ kata Doni sembari tertawa terkekeh-kekeh.
Dengan ketekunannya berbisnis daging sapi, kehidupan Doni kian moncer. Dendamnya pada kemiskinan mulai terbayar ketika bisa membeli rumah dan tanah di sekelilingnya. ‘’Alhamdulillah, saya bisa membeli beli rumah dan tanah milik tetangga di kiri dan kanan untuk kandang sapi karena sapi saya makin banyak,’’ jelas Doni.
Di atas tanah itulah, Doni sejak 2004 memelihara sapi istimewa. Semuanya sapi untuk kebutuhan hari raya qurban. Jumlah sapi di kandang Cisalak ada 2 ribu ekor. ‘’Sapi qurban harus dipelihara secara khusus, tidak seperti sapi potong biasa,’’ jelas Haji Doni.
Persaingan di bisnis sapi qurban ternyata sangat keras. Selain Doni, ada ratusan pedagang sapi lain dengan masa penjualan yang relatif pendek. Hanya sekitar satu bulan saja.
Pada musim qurban 2010, Doni membuat heboh dunia bisnis hewan qurban, dengan menghadirkan pusat penjualan hewan qurban yang disebut ‘’Mall Hewan Qurban’’. Disebut mall karena sapi qurban itu dipajang di sebuah show room yang representatif.
Doni nekat menggunakan show room mobil miliknya di Depok untuk memajang aneka model sapi qurban koleksinya. Dari sapi seberat 300 kilogram hingga 1,5 ton dipamerkan di sana. Show room sapi qurban itu dilayani sejumlah pramuniaga cantik dengan kostum cowboy sambil menenteng i-pad.
Apa yang bisa diperlihatkan dari ipad? ‘’Ipad itu sebenarnya untuk monitoring RFID. Karena sapinya ribuan, setiap sapi harus dipasangi RFID. Dengan RFID, sapi yang sudah dibeli tidak akan tertukar pada saat dikirim,’’ jelas Doni.
Gara-gara Mall Hewan Qurban, Doni akhirnya dijuluki ‘’Juragan Sapi Qurban’’. Namanya melambung karena diliput media di dalam dan luar negeri. Doni bahkan diundang media ke Australia dan Eropa untuk wawancara khusus dengan radio dan televisi setempat. ‘’Padahal saya tidak bisa berbahasa Inggris,’’ kata Doni.
Liputan media itu diakui Doni membuat bisnis hewan qurban yang digelutinya menjadi terkenal. Permintaan hewan qurban pun meningkat dari tahun ke tahun. Menjelang qurban tahun 2014, Doni menyediakan 8.000 ekor sapi. Kandangnya tidak hanya di Cisalak, tetapi tersebar di Probolinggo, Jawa Timur, Ponorogo, Jawa Timur dan Lampung. Investasi yang ditanam di bisnis sapi qurban sudah lebih dari Rp 100 miliar.
Doni menyediakan sapi dengan berbagai ukuran dan jenis. Ada sapi lokal seperti sapi Jawa, Madura dan Bali untuk ukuran medium dengan berat sekitar 300 kilogram per ekor. Ada juga sapi hasil silangan lokal dengan bibit sapi pedaging impor dengan berat di atas 400 kilogram. Ada juga sapi-sapi ras pedaging impor yang beratnya di atas 1.5 ton! (baca: http://
Untuk qurban tahun 2014, Haji Doni menjual sapi dengan rentang harga mulai Rp 13.750.000 per ekor hingga Rp 235.000.000 per ekor. ‘’Harga sapi yang termahal adalah sapi Albino dari Belanda. Ini sapi sangat langka. Saya hanya punya 5 ekor saja,’’ kata Doni (baca: http://
Haji Doni saat ini tinggal di Cisalak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bersama keluarganya. Anak sulungnya sudah kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Anak bungsunya masih berusia 6 tahun. Tidak ada yang pernah menyangka, bisnisnya yang beromset ratusan miliar itu pernah diawali dengan menggadaikan barang.
Jumat (22/8 lalu) saya menemui Haji Doni di showroomnya bersama kawan-kawan Lazismu. Dalam perbincangan selama dua jam, Doni menawarkan peluang bisnis menjadi reseller sapi qurban. Harga yang dipasarkan reseller sama dengan harga yang ditetapkan Haji Doni. Reseller mendapat komisi penjualan.
Peluang itu tentu saja tidak saya sia-siakan. Apalagi pada 2001 - 2004, saya juga selalu berjualan sapi setiap hari raya qurban. Saya menjual sapi di kompleks RPH Mampang, Jakarta Selatan. Berkumpul bersama puluhan pedagang sapi di sana selama sepuluh hari.
Selain mencari peluang kerjasama, kedatangan saya ke show room Haji Doni juga untuk meminta izin wawancara sebagai salah satu naras umber buku baru yang akan saya tulis bersama Anab Afifi. Buku baru tersebut berkisah tentang orang-orang yang sukses berawal dari modal gadai. Buku ini akan selesai bulan September 2014 dan siap cetak bulan Oktober 2014
Obat Tradisional Jelly Gamat
BalasHapusObat Gondok
Obat Benjolan di Gusi
Obat Pengering Luka
Obat Benjolan di Lidah
BalasHapusObat pengering Luka Operasi
Obat Pengering Luka