Mimpinya Selangit, Beritanya Seuprit
Hari-Hari ini Pada Tahun 1991 (4)
Ada dua masalah besar yang saya hadapi pada awal bekerja di
kantor Jawa Pos Surabaya. Pertama bagaimana caranya agar bisa bertahan hidup di
Surabaya dengan uang terbatas. Kedua bagaimana caranya agar beritanya bisa
dimuat.
Untuk bisa bertahan dengan dompet tipis, satu-satunya cara
adalah mencari yang gratis-gratis. Makan gratis. Tidur gratis. Maklum, selama
sebulan bekerja, saya belum gajian. Hanya hidup dari uang penjualan mesin ketik
Brother, satu-satunya kekayaan tersisa semasa kuliah yang bisa saya jual.
Dari 11 wartawan baru, ada dua orang yang asli Surabaya.
Keduanya adalah Yono dan Andung. Yono asli dari Karah. Rumahnya hanya sekitar
800 meter dari kantor Jawa Pos. Andung tinggal di kompleks Kodam Brawijaya,
sekitar 3 kilometer dari kantor Jawa Pos.
Kebetulan kedua-duanya menawarkan tempat menginap sementara
sampai kelak mendapat kos-kosan. Beberapa hari pertama di Surabaya, saya
menginap di rumah Yono. Sayangnya, Yono hanya bertahan seminggu bekerja di Jawa
Pos. Fisiknya tidak kuat dengan model kerja wartawan Jawa Pos. Dia mengundurkan
diri dengan alasan kesehatan.
Dari kamar gratis di rumah Yono, saya pindah ke rumah Andung.
Rupanya saya keterusan di rumah Andung. Kebetulan bidang liputannya sama. Kami
berdua mendapat pos liputan hukum dan kriminalitas. Jadi sering meliput
bersama. Kami berboncengan dengan satu sepeda motor.
Sekitar dua minggu bekerja, Syafi’i Zemud yang sama-sama
wartawan baru menawari berbagi sewa kamar kosnya di Karah Agung. Lokasinya
hanya 200 meter dari kantor Jawa Pos.
Saya setuju saja. Apalagi, kamar itu sudah dibayar Syafi’i.
Saya boleh membayar separo setelah menerima gaji.
Deal! Sejak itu saya tinggal di kos-kosan bersama Syafi’i
yang aslinya dari Pati, Jawa Tengah itu.
Meski sudah punya kamar kos, ternyata saya lebih banyak tidur
di ruang redaksi Jawa Pos. Sebab, di ruang kerja wartawan itu disediakan sebuah
tempat tidur dengan alas karpet tebal dan bantal yang selalu diganti cover-nya
setiap hari.
Yang lebih penting, setiap malam Jawa Pos selalu memberikan
jatah extra fooding berupa nasi bungkus. Kadang-kadang nasi bungkus dan minuman
kacang hijau.
Setiap pukul 22.00, office boy Jawa Pos akan muncul dari
balik pintu lobby dan berteriak, ‘’Serbuuuuuuuu...’’
Sejurus kemudian, wartawan, redaktur, lay out man, dan pra
cetak akan berlarian ke sumber suara untuk berebut makan malam gratis. Jatah
extra fooding itu jumlahnya terbatas. Sementara yang bekerja di pada pukul
22.00 masih banyak. Kadang dapat dan kadang tidak.
Tidur di kantor redaksi selain mendapat tempat tidur yang
selalu bersih dan wangi serta berpendingin udara juga bisa mendapat makan malam
gratis. Extra fooding adalah target makan malam saya!
Tidur di kantor ternyata juga memberi peluang baru bagi saya
untuk mendapatkan berita peristiwa yang terjadi di atas pukul 22.00. Kebakaran,
kecelakaan lalu lintas dan perampokan acap terjadi di malam hari.
Biasanya, seusai acara ‘’serbuan’’, hampir semua wartawan
sudah pulang. Hanya tinggal redaktur yang masih menyelesaikan editing naskah.
Nah, ketika ada informasi dari masyarakat, wartawan yang tersisa di kantor
itulah yang kebagian jatah liputan.
Setelah dua minggu menjadi ‘’doktor’’ alias ‘’mondok di
kantor’’, saya kebagian tugas meliput sebuah peristiwa kebakaran di Restoran
Aloha. Restoran ini berlokasi di kawasan Aloha, satu kompleks dengan stasiun
pengisian bahan bakar. Kebetulan tidak terlalu jauh dari kantor Jawa Pos.
‘’Dalam 1 jam sudah harus sampai ke kantor dengan membawa
berita dan foto,’’ perintah Pak Ali Murtadlo, redaktur halaman kota.
‘’Siap Pak!’’ jawab saya sembari berkemas menyiapkan kamera
dan alat tulis.
Kebakaran restoran Aloha itu cukup besar. Restorannya sendiri
besar dan lokasinya bersebelahan dengan SPBU. Sangat berbahaya. Bisa
menimbulkan kebakaran pompa bensin kalau tidak segera bisa diatasi.
Saya bertekat untuk menjadikan berita kebakaran restoran
Aloha itu menjadi berita terkuat halaman kota Surabaya. Istilah di Jawa Pos adalah
‘’headline kedua’’. Headline pertama tentu saja berita utama di halaman pertama
yang umumnya berkelas berita nasional dan internasional.
Tiba di lokasi liputan, suasana sudah hiruk-pikuk. Lebih dari
lima mobil pemadam kebakaran berusaha memadamkan api yang berkobar. Saya terus
merangsek di antara kerumunan masyarakat yang menonton kebakaran agar bisa
mengambil foto terbaik.
Karena masih ‘’culun’’, saya meliput tanpa ‘’ilmu’’. Hanya
bermodal semangat saja.
Akibatnya, saat mencari angle foto yang baik, saya kena
semprot mobil pemadam kebakaran. Badan saya basah kuyup. Untung kamera milik
kantor bisa saya lindungi dengan jaket.
Semangat untuk menghasilkan berita terbaik ternyata membuat
saya lupa deadline. Seharusnya saya sudah tiba di kantor satu jam sejak
berangkat. Saat itu tenggat sudah habis. Tapi saya masih asyik memotret
sana-sini dan mewawancarai banyak orang.
Mendekati pukul 24.00 saya tiba di kantor. Tenggat terlewat
satu jam.
Pak Ali Murtadlo langsung memerintahkan saya untuk mengetik
berita dengan nada setengah kesal. ‘’Anda terlambat satu jam. Sekarang Anda saya
kasih waktu 15 menit untuk menulis berita sekaligus meminta bagian laboratorium
foto untuk mencetak foto,’’ kata Pak Ali.
‘’Lima belas menit? Berita apa yang bisa saya selesaikan
dalam waktu sependek itu?’’ tanya saya dalam hati.
Tapi saya tidak mau bertanya. Sebagai wartawan baru, saya
harus melaksanakan apa saja perintah redaktur.
‘’Sudah 15 menit. Tolong beritanya dikirim ke folder saya,’’
kata Pak Ali.
‘’Oke sekarang Anda pulang. Lihat saja beritanya di koran
besok pagi. Sekarang ganti baju. Bajumu bau!’’ kata Pak Ali.
Saat itu saya baru tersadar menulis berita dengan baju yang
basah terkena semprotan air dari mobil pemadam kebakaran. Airnya keruh.
Terlihat dari noda-noda yang menempel di baju. ‘’Itu air comberan yang disedot
mobil pemadam kebakaran untuk memadamkan api,’’ kata Pak Ali.
‘’Pantas saja badan saya gatal-gatal...’’ kata saya dalam
hati.
Pulang di kos-kosan Syafi’i, saya tidak bisa tidur. Malam itu
adalah sejarah. Saya akan punya berita perdana setelah bekerja dua minggu.
Apalagi kalau terbit sebagai ‘’headline kedua’’, maka saya akan punya catatan
rekor sebagai wartawan baru pertama yang bisa menembus ‘’headline kedua’’.
Pukul 02.00 saya masih belum bisa tidur. Akhirnya saya balik
ke kantor untuk mengambil jatah koran redaksi dari percetakan. Saya benar-benar
ingin membaca berita ‘’headline kedua’’ yang saya tulis beberapa jam
sebelumnya.
Tiba di kantor, mesin cetak sudah ‘’giling’’. Karyawan ekspedisi
sudah membagi-bagi koran sesuai jatah untuk setiap sopir. Saya minta satu
eksemplar.
Halaman pertama yang saya adalah ‘’Kota Surabaya’’. Saya
ingin tahu foto yang mana yang dimuat dan seberapa banyak naskah saya yang
diedit Pak Ali.
Halaman ‘’Kota Surabaya’’ sudah saya buka. Tetapi foto
kebakaran restoran Aloha tidak ada. ‘’Headline kedua’’ juga bukan berita
kebakaran Aloha.
Saya baca sekali lagi. Ternyata ada! Tapi, bukan di headline
kedua melainkan di kolom ‘’Keliling Surabaya’’.
Kolom itu berisi berita singkat. Hanya lima hingga delapan
kalimat pendek. Biasanya untuk menerbitkan agenda acara masyarakat yang terjadi
di Surabaya hari itu.
‘’Restoran Aloha terbakar pukul 20.00 tadi malam. Hingga
berita ini diturunkan, petugas pemadam kebakaran masih berusaha memadamkan api.
Tidak ada korban jiwa dalam kebakaran tersebut.’’
Sial! Hanya itulah berita yang termuat! (bersambung)
Komentar
Posting Komentar