Briefing Gagal Gara-Gara Durian
Hari-Hari ini Pada Tahun 1991 (3)
Saya terpaksa naik sepeda motor dari Semarang menuju Surabaya
gara-gara durian. Seandainya tidak ada ‘’skandal durian’’ itu, tentu saya hanya
perlu numpang truk angkutan koran Jawa Pos yang balik dari kantor biro Semarang
menuju Surabaya.
‘’Skandal durian’’ itu sendiri terjadi saat saya masih
menjalani tes masuk Jawa Pos. Ceritanya, ada beberapa orang pembaca Jawa Pos
komplain gara-gara korannya ‘’bau durian’’.
Bau durian sebenarnya lebih enak ketimbang bau tinta cetak
atau bau kertas koran. Tapi, memang ada juga yang tidak suka sama sekali dengan
bau durian. Bahkan ada yang sampai merasa pusing dan mual-mual bila mencium
aroma durian.
Mungkin pembaca yang komplain itu termasuk jenis ‘’anti bau
durian’’. Dia protes karena koran Jawa Pos hari itu beraroma durian. Aroma yang
tidak lazim untuk produk koran.
Komplain ditindaklanjuti. Manajemen Jawa Pos langsung mencari
penyebabnya. Semua sopir angkutan koran dipanggil dan ditanya apakah ada yang
ketika mengangkut koran juga membawa durian.
Ternyata memang ada. Tetapi bukan mengangkut koran dan durian
bersamaan. Waktu berangkat, mobil mengangkut koran. Tetapi ketika balik ke
Surabaya, mobil mengangkut durian.
Tidak semua mobil angkutan koran milik Jawa Pos. Malah lebih
banyak mobil sewaan dari masyarakat, baik untuk rute pendek maupun rute
panjang. Nah, mobil sewaan itulah yang setelah mengantar koran ke luar kota,
mencari ‘’balen’’ dengan mengangkut durian.
Rupanya aroma durian itu ‘’terperangkap’’ di dalam kabin
mobil cukup lama. Sampai dengan jadwal mengangkut esok harinya, aroma durian di
dalam mobil itu belum juga hilang. Alhasil, koran yang diangkut hari itu berbau
durian!
''Kami kan dibayar untuk mengantar koran. Baliknya tidak dibayar, jadi boleh dong kami angkut apa saja, termasuk durian,'' jawab sopir.
Gara-gara komplain tersebut, manajemen Jawa Pos membuat aturan
baru untuk semua sopir ekspedisi koran dengan larangan mengangkut barang-barang
yang menimbulkan bau pada koran. Durian, nangka, solar, bensin, oli dan
lain-lain masuk daftar yang dilarang diangkut.
Secara kebetulan, saya berencana menitipkan sepeda motor
Yamaha RS100 agar diangkut dengan truk Jawa Pos dari kantor biro Semarang ke
kantor pusat di Surabaya. ‘’Wah sekarang tidak bisa lagi truk Jawa Pos dipakai
mengangkut sepeda motor,’’ jawab sopir ekspedisi Jawa Pos di kantor biro
Semarang.
‘’Tapi menurut surat pengantar ini, boleh,’’ jawab saya.
‘’Kemarin masih boleh. Hari ini sudah tidak boleh. Saya punya
suratnya,’’ jelas sopir itu.
Jasa pengiriman paket sebenarnya bisa digunakan. Tetapi
ongkosnya mahal.
Uang hasil penjualan mesin ketik Brother kesayangan saya hanya
cukup untuk biaya kos dan makan minimalis selama sebulan di Surabaya. Kalau
digunakan untuk membayar jasa pengiriman, bisa-bisa saya tidak bisa makan lagi
setelah bekerja dua minggu.
Karena tidak mungkin lagi menitipkan sepeda motor itu, jalan
satu-satunya adalah menaiki sepeda motor tersebut sampai Surabaya. Murah tetapi
melelahkan.
Walau demikian, saya tetap memutuskan untuk menaiki sepeda
motor itu. Saya yakin mampu. Sebab, saya pernah naik sepeda motor dari Semarang
ke Kebumen lalu ke Purwokerto lanjut ke Pamekasan, Madura. Saat itu tahun 1986,
saya diajak sahabat karib saya Lilik Kapiten naik Honda Astrea C-800.
Sekitar pukul 15.00 saya berangkat dari Semarang menuju
Surabaya melewati jalur pantura. Semarang – Demak – Kudus – Pati – Rembang –
Tuban – Lamongan – Surabaya. Perkiraan saya, dengan kecepatan konstan rata-rata
70 kilometer per jam, saya sudah bisa masuk Surabaya pada tengah malam.
Singkat cerita, sampailah saya di Surabaya sekitar pukul
02.00. Lokasi pertama yang saya tuju adalah terminal Jembatan Merah. Dengan
bertanya kiri dan kanan saya menyusuri jalanan kota Surabaya agar bisa mencapai
kantor Jawa Pos di Jalan Karah Agung, Ketintang Barat, Surabaya Selatan, satu
jam kemudian.
Apa lacur, saya salah jalan dan akhirnya tersesat. Harusnya
saya ke arah Sidoarjo atau arah selatan. Tetapi saya malah mengambil jalan ke
timur arah Kapasan dan muter-muter di kawasan Sukolilo, makam Peneleh dan
kembali ke Jembatan Merah.
Pukul 07.00 barulah saya bisa sampai ke kantor Jawa Pos.
Suasana masih sepi karena jam kerja baru dimulai pukul 09.00. Saya memilih
tidur-tiduran di pojok mushola untuk mengikuti briefing hari pertama pukul
09.00.
Walau niatnya hanya tidur-tiduran, yang terjadi adalah tidur
beneran. Saya terbangun karena mushola mendadak ramai dengan orang yang hendak
menunaikan ibadah salat dzuhur.
Briefing hari pertama gagal. Nasib...nasib. Baru kerja hari
pertama sudah kena damprat dari senior. Semua berawal dari ‘’skandal durian’’
(bersambung).
Komentar
Posting Komentar