Password ''Mukhlis'' yang Menyelamatkan Tiga Hari
Hari ini pada tahun 1991. Pukul 15.00. Saya baru selesai wisuda
ketika surat panggilan tes calon wartawan Jawa Pos itu tiba di rumah kos saya
di Semarang. Jadwal tes itu ternyata dua hari lagi!
Alamak! Bagaimana caranya ke Surabaya?
Saya tidak bingung cara menuju Surabaya. Ayah saya asli
Pamekasan, Madura. Jadi kota Surabaya sudah sering saya singgahi ketika akan naik
ferry menyeberangi Tanjung Perak menuju Bangkalan, Madura.
Sedikit-sedikit, saya tahu Surabaya. Paling tidak Pasar Atom,
Pasar Turi dan Jembatan Merah. Itulah tempat-tempat yang sering saya singgahi
dalam perjalan dari Purwodadi, Grobogan, menuju Pamekasan, Madura.
Saya hanya bingung bagaimana cara membeli karcis angkutan ke
Surabaya. Maklum, saat wisuda, saya benar-benar dalam posisi ‘’tongpes’’ alias ‘’kantong
kempes’’.
Situasai keuangan saya memang berbeda 180 derajat dibanding
ketika masih kuliah.
Saat masih kuliah, saya boleh dibilang mahasiswa ‘’tajir’’. Walau
sehari-hari ‘’hanya’’ pedagang majalah, saya punya penghasilan bersih yang
terbilang besar untuk mahasiswa pada tahun 1986.
Semasa kuliah saya juga punya bisnis lain. Saya biasa memborong
pembuatan backdrobe acara seminar mahasiswa dan dosen serta wisuda di kampus. Belum lagi komisi sebagai agen asuransi.
Dengan penghasilan itu, saya bisa menyewa satu kamar kos di Jalan
Kintelan Baru yang merupakan daerah elite di kawasan Semarang atas. Posisinya
di atas kampus kedokteran Universitas Diponegoro.
Kamar yang saya sewa cukup baik. Ruangan 5 meter x 6 meter
lengkap dengan kamar mandi di dalam, satu tempat tidur yang spreinya diganti
setiap 3 hari dan layanan cuci dan setrika semua baju setiap hari.
Makan pun disediakan 1 kali sehari. Boleh pilih makan pagi,
makan siang atau makan malam. Saya boleh pilih menu harian sesuka hati sesuai
daftar.
Biayanya Rp 100 ribu per bulan. Sementara kamar kos
teman-teman saya umumnya seharga Rp 25 ribu per bulan. Bahkan ada yang hanya Rp
15 ribu per bulan. Sekamar diborong ramai-ramai.
Tapi masa ‘’kejayaan’’ itu sudah lama lenyap. Ketika harus
mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) di pedesaan selama tiga bulan, saya menjual keagenan
majalah kepada salah kawan kuliah. Uangnya untuk biaya KKN dan menyusun skripsi
yang menghabiskan waktu dua semester.
Jadilah saat wisuda, saya berstatus sarjana ‘’miskin’’.
Saking miskinnya, untuk wisuda pun saya tidak sanggup membayar biaya sebesar Rp
150 ribu.
Sebanyak Rp 125 ribu adalah biaya wisuda. Sebanyak Rp 25 ribu biaya
foto-foto wisuda.
Tapi saya ingin ikut wisuda! Saya tidak mau menunda-nunda
lagi. Bukan apa-apa. Saya sudah tidak punya uang lagi.
Minta orang tua? Pasti bisa. Tapi itu bukan ‘’gaya saya’’.
Kalau pun minta dan diberi, pasti tidak banyak. Sementara saya merasa bisa
mencari uang sebesar itu. Mandiri. Itulah gaya saya.
Akhirnya saya nekat berkirim surat kepada Dr Muladi SH, Dekan
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Saya mengajukan dispensasi bisa ikut
wisuda dengan dua konsekuensi. Saya tidak ikut sesi foto dan saya menjaminkan
ijazah sarjana. Saya hanya minta boleh memfotokopi dan melagilisir sebanyak 5
lembar untuk melamar pekerjaan.
Ajaib. Surat saya dibalas. Dekan setuju dengan penawaran
saya. Jadilah saya wisuda gratis. Saat teman-teman berfoto ria, saya hanya
tertawa kecut.
Hanya pada sesi-sesi foto bareng, ada beberapa kawan yang
mengajak saya berfoto. Tetapi pose foto sendiri dengan toga, saya tidak ikut
karena sesi itu berbiaya Rp 25 ribu!
Saya lihat kembali surat panggilan dari Jawa Pos itu. ‘’Datang
atau tidak?’’ tanya saya dalam hati. ‘’Harus datang,’’ jawab hati saya. ‘’Duitnya
dari mana?’’ tanya saya. ‘’Jual saya barang yang masih ada,’’ jawab hati saya.
Saya lihat-lihat seputar kamar. Adakah barang yang masih bisa
saya jual?
Hanya ada dua barang yang berharga. Satu radio tape hi-fi merek Sony
yang dulu saya beli dengan susah-payah. Satu lagi sebuah mesin ketika Brother
ukuran middle yang telah membantu saya menyelesaikan naskah skripsi.
Selebihnya tidak ada yang berharga.
Di luar kamar saya punya sebuah sepeda motor. Yamaha RS100
produksi 1978. Tidak mungkin saya menjual sepeda motor itu. Sebab, kalau nanti
diterima sebagai wartawan Jawa Pos, saya pasti membutuhkan alat transportasi.
Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan menjual saja radio
tape hi-fi Sony itu. Namanya lagi BU, pedagang elektronika bekas di
kawasan Poncol, Semarang Barat, menawar
seenak udelnya. Sialnya saya tidak punya waktu lagi.
Kesepakatan harga pun terjadi. Barang kesayangan itu saya
lepas dengan harga Rp 150 ribu. ‘’Nanti saya akan beli lagi yang lebih bagus,’’
tekat saya sambil berjalan meninggalkan toko.
Sudah menjelang magrib. Saya pun bersiap-siap menuju rumah
Bulik saya di Pati, Jawa Tengah. Sekitar 100 kilometer dari Semarang. ‘’Siapa
tahu dapat tambahan uang saku,’’ pikir saya.
Tiba di Pati, harapan tambahan uang saku pun buyar. Belum
sempat bercerita bagaimana harus ke Surabaya, Bulik saya sudah curhat susahnya
hidup sebagai guru di Pati yang gajinya tak seberapa. Sementara anaknya yang
masih bayi butuh banyak menu bergizi dan sering sakit.
Menjelang tengah malam, saya pun berangkat dari Pati menuju
Surabaya. Bus malam Jakarta – Surabaya menjadi pilihan, karena tiketnya paling
murah. Sekedar tahu, check point terakhir dilakukan di Kudus. Jadi, setelah
masuk Pati, banyak sopir dan kernet bus malam yang mencari ceperan dengan
menaikkan penumpang ke Surabaya.
Berangkat ke Surabaya tengah malam ternyata salah. Sebab, jadwal
tiba di Surabaya saat subuh. Saat itu, mata diserang kantuk yang luar biasa.
Sementara saya belum tahu di mana harus tidur.
Setelah makan pagi di warung kaki lima tak jauh dari Terminal
Jembatan Merah, saya mencari bus kota menuju kantor Jawa Pos di Ketintang,
Surabaya Selatan. Menurut penjelasan tukang becak yang mangkal di terminal,
saya harus naik bus kota dan turun di Wonokromo.
Sesampai di Wonokromo saya mencari informasi alamat Jawa Pos.
Tukang becak yang mangkal di depan Rumah Sakit Islam (RSI) Siti Khodijah
menjelaskan bahwa kantor Jawa Pos tidak jauh. Karena itu, dia menawarkan jasa
becaknya.
Karena menilai tidak jauh, saya memilih jalan kaki saja
sambil menenteng dua tas. Tas pertama berisi mesin ketik Brother. Tas kedua
berisi baju-baju buat dua atau tiga hari.
Sejam berjalan, kantor Jawa Pos belum juga terlihat. Salah
jalan? Ternyata tidak. Memang kantornya masih jauh. ‘’Sialan!’’ maki saya dalam
hati.
Hampir dua jam berjalan di bawah terik matahari, saya
akhirnya tiba di kantor Jawa Pos. Saya ingat, hari itu Minggu. Tidak banyak
wartawan yang hadir di kantor. Saya hanya diterima satpam saja. Sekretaris
redaksi yang membuat surat panggilan tes bahkan tidak masuk.
Dari satpam, saya dapat banyak informasi menarik. Misalnya,
lama testing biasanya 9 hari. Pengumumannya dilakukan di koran sehari setelah
tes. Kemudian selama tes peserta tidak mendapat konsumsi walau tes berlangsung
seharian. Hanya dapat air minum saja. Tidak ada jatah makan.
Informasi itu buat saya sangat penting, karena uang saya
hanya Rp 150 ribu. Kalau harus bertahan 9 hari, maka anggaran saya per hari
tidak boleh lebih dari Rp 15 ribu! Bukankah harus pulang ke Semarang untuk
mempersiapkan pekerjaan kalau diterima?
Kembali pulang berjalan kaki, saya akhirnya terkulai lemas di
emper UGD RSI Siti Khodijah, Wonokromo. Lelah dan kantuk tak bisa ditahan lagi.
Saya pun segera terlelap sampai seorang satpam membangunkan saya.
‘’Mas, sudah
magrib,’’ katanya.
Setelah magrib, saya keluar dari RSI. Jalan-jalan dan cari
makan murah meriah seperti pecel dan lontong balap. Setelah agak malam, saya
kembali ke bangku ruang tunggu di UGD. Lumayan, ada pendingin udaranya.
Merasa dapat tempat duduk yang enak, saya kembali terlelap.
Tiba-tiba satpam yang sama membangunkan saya. ‘’Mas, sampeyan ini di sini mau
numpang tidur apa menunggu orang sakit?’’ tanya satpam.
Dengan sedikit gelagapan, saya berbohong. ‘’Nunggu orang
sakit,’’ jawab saya.
‘’Siapa namanya?’’ tanya satpam.
‘’Mukhlis,’’ jawab saya ngawur.
Lucunya, nama Mukhlis ternyata ada dalam register pasien di UGD.
‘’Mukhlis yang korban kecelakaan ya?’’ tanya satpam.
‘’Ya benar. Mukhlis yang korban kecelakaan,’’ jawab saya
dengan rasa lega.
‘’Sudah masuk kamar perawatan Mas. Di dalam sana,’’ kata satpam.
‘’Jadi saya boleh masuk?’’ tanya saya.
‘’Boleh. Lain kali kalau mengantar pasien jangan ngantukan,’’
nasihat satpam.
‘’Siap!’’ jawab saya sambil ngeloyor.
Lumayan, malam ini dapat tempat menginap gratis karena
menunggui Mas Mukhlis. Nama imajiner yang kebetulan ada beneran. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar