Perjalanan Seorang Loper Koran
Dunia tulis-menulis sudah digeluti Joko Intarto sejak masih duduk di sekolah menengah atas. Setelah berita pendek yang ditulisnya dimuat majalah anak sekolah ‘’Mop’’ pada 1983, semangat menulisnya kian menyala. Artikel tentang ‘’English Speech Contest’’ antar siswa sekolah itu menjadi awal perkenalannya dengan dunia media massa.
Lepas dari SMA Negeri 1 Purwodadi, Joko melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Pada masa inilah, pria yang hobi menggambar karikatur itu berinteraksi lebih jauh dengan industri pers.
Berkat karikatur bertema Ayatollah Khomeini dan krisis Timur Tengah pada tahun 1991, Joko diterima sebagai illustrator dan karikaturis di majalah mahasiswa Fakultas Hukum Undip ‘’Gema Keadilan’’. Ia berhenti dari redaksi majalah itu, setelah terkena sanksi Dekan Fakultas Hukum karena karikaturnya menyulut perkelahian massal anggota dua kelompok organisasi mahasiswa.
Tidak mau berhenti dari dunia kepenulisan, Joko dan seniornya, Syaifurrahman Ahmad, kemudian mendirikan sebuah majalah mahasiswa Fakultas Hukum Undip ‘’Wawasan Akademika’’. Karena kampus hanya mengakui satu majalah resmi, ‘’Wawasan Akademika’’ diterbitkan secara swadaya. Modalnya dari sebagian penghasilan Joko sebagai agen majalah dan koran yang dilakoninya sejak 1991.
Selain menulis di ‘’Wawasan Akademika’’ Joko yang lahir di Purwodadi 24 Mei 1968 itu rajin menulis artikel di sejumlah koran lokal Semarang. Karena namanya sering termuat di koran, beberapa dosen mengenal Joko dengan baik. Bahkan, ada dosen yang minta diajari menulis artikel di koran.
Pada semester akhir kuliahnya pada 1991, Joko membaca iklan lowongan reporter di surat kabar ‘’Jawa Pos’’ Surabaya. Joko memang sangat terkesan dengan koran besutan Dahlan Iskan itu. Sebagai agen, Joko tahu benar bahwa ‘’Jawa Pos’’ yang terbitan Surabaya itu mampu menjadi koran paling laris di Semarang.
Tepat pada hari wisuda, pria kelahiran Purwodadi itu mendapat surat panggilan tes di ‘’Jawa Pos’’. Jadwal tes keesokan harinya. Terpaksa setelah prosesi wisuda, Joko berangkat ke Surabaya dengan uang hasil penjualan tape recorder. ‘’Sejak mengikuti mata kuliah kerja nyata selama 3 bulan, usaha agen koran saya jual. Hasilnya untuk menyelesaikan skripsi sampai wisuda,’’ jelas Joko.
Berangkat dengan modal pas-pasan, Joko tidak menyangka kalau tes berlangsung selama 9 hari berturut-turut. Uangnya tidak mungkin untuk menginap di hotel. Terpaksa Joko menginap di ruang tunggu RS Siti Khodijah di Wonokromo selama 8 malam. Kalau sudah dikenali satpam rumah sakit, Joko pindah tidur di teras unit perawatan lain.
Sembilan bulan setelah menjadi wartawan ‘’Jawa Pos’’, Joko menerima tantangan Dahlan Iskan yang sedang mencari pemimpin koran Cenderawasih Post di Irian Jaya. Walau tidak jadi diberangkatkan Jayapura, Dahlan memberi kesempatan Joko memimpin ‘’Mercusuar’’, koran harian satu-satunya di kota Palu, Sulawesi Tengah.
Koran yang didirikan Drs Rusdy Toana, tokoh Muhammadiyah Sulawesi Tengah itu, sudah beroperasi sejak akhir dekade 60-an. Namun, karena situasi perekonomian belum mendukung, ‘’Mercusuar’’ terbit dengan berbagai kesulitan. Saat Joko memimpin, gedung redaksi, gedung percetakan dan mesinnya serta rumah Rusdy Toana dalam kondisi disita Bank BNI dan Bank BRI.
Setelah bekerja keras selama dua tahun bersama seluruh karyawan, utang perusahaan berhasil dilunasi seluruhnya.
Pada tahun 1998, Dahlan Iskan memanggil Joko kembali ke ‘’Jawa Pos’’ sebagai wakil kepala biro Jakarta. Namun, Joko memilih menjadi account executive iklan di Jakarta ketimbang menjadi redaktur.
Pada 1999, Joko kembali dipanggil Dahlan untuk menangani koran ‘’Suara Indonesia’’, koran bisnis di Surabaya yang sudah sekarat. ‘’Oplahnya tinggal sebecak. Saya gak hoki,’’ kata Dahlan, yang memimpin koran itu selama 7 tahun.
Bersama seniornya Auri Jaya, Joko mengelola ‘’Suara Indonesia’’ dan mengubahnya dari koran bisnis menjadi koran politik. Dalam enam bulan, ‘’Suara Indonesia’’ mencapai oplah 65 ribu per hari karena saat itu, hanya ‘’Suara Indonesia’’ yang berani memberitakan suara menuntut rezim Soeharto turun.
Koran saat itu belum sebebas sekarang. Koran yang berani melawan pemerintah bisa dicabut izinnya. ‘’Kalau tidak berani, koran ini juga akan mati karena tidak punya pembaca. Lebih baik mati dibredel. Wartawannya masih bisa gaya,’’ kata Joko tentang strategi bisnisnya.
Ketika Joko sudah memutuskan menetap di Surabaya, Dahlan memerintahkan untuk kembali ke Jakarta. ‘’Saya baru terima kunci rumah tipe 45 dari BTN. Belum sempat menempati rumah itu. Pak Dahlan menawarkan untuk membeli rumah saya,’’ kata Joko.
Kembali ke Jakarta, Joko banyak terlibat dalam pendirian dan pengelolaan koran lokal di Jabodetabek. Radar Bogor, Radar Sukabumi, Radar Tangerang, Indo Pos, Tangsel Pos, Radar Bekasi, Pos Metro dan koran bahasa Mandarin Guo Ji Re Bao.
Pada 2008, Joko meninggalkan dunia media cetak. Dia mencoba dunia televisi lokal yang tengah naik daun. Mengawali sebagai marketing di JTV biro Jakarta, Joko akhir menangani JAK TV hingga tahun 2010.
Pengalamannya di industri media televisi itu yang membuatnya tertarik mendirikan usaha productions house. Selain memproduksi konten video, rumah produksi itu juga melayani permintaan penulisan buku. Rupanya, buku itulah yang sekarang menjadi fokus baru Joko.
Komentar
Posting Komentar