Nelayan Tanpa Cantrang



Mungkinkah nelayan hidup tanpa cantrang? Pertanyaan itu beberapa kali mengusik saya, karena begitu gencarnya orang mempersoalkan larangan cantrang.
                                                                
Seumur hidup saya belum pernah melihat seperti apa barang yang bernama cantrang itu. Tapi kalau membaca alasan pelarangan cantrang, saya bayangkan cantrang adalah perkakas yang mirip vacuum cleaner, menyedot semua barang yang ditemuinya. Ikan besar, ikan sedang, ikan kecil, bahkan teri, tidak ada yang bisa lolos.

Benarkah nelayan hanya bisa hidup dengan cantrang? Sebagian orang mungkin berpendapat begitu. Namun, saya mendapatkan fakta lain yang berbeda.

Nelayan ternyata bisa hidup tanpa cantrang. Mereka adalah para nelayan yang beralih fokus dari menangkap ikan menjadi menangkap rajungan.

Menangkap rajungan tidak harus dengan cantrang. Meski, mungkin, cantrang bisa digunakan untuk itu. Rajungan bisa ditangkap dengan ‘’bubu’’, yang disesuaikan ukurannya untuk menangkap rajungan dengan ukuran tertentu.

Rajungan merupakan hewan sejenis kepiting yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Spesies ini banyak ditemukan di perairan mulai Sumatera hingga Sulawesi. Potensi sumber dayanya melimpah.

Saat ini, ada ratusan nelayan di Lampung yang hidup dari hasil penjualan rajungan kepada pabrik pengolahan. Pabrik selanjutnya memasarkan hasil olahan itu ke pasar. Sebagian kecil ke pasar domestik. Sebagian besar ke pasar luar negeri, khususnya Amerika Serikat.

‘’Saat ini ekspor kami masih kecil. Baru satu kontainer per bulan. Kami ingin meningkatkan ekspor menjadi empat kontainer per bulan, atau separoh permintaan buyer kami di USA,’’ terang Yoga Sadana, direktur Sieger Jaya Abadi, dalam wawancara khusus Senin, di Jakarta.

Mengapa masih kecil? Bukankah potensi rajungan di Indonesia sangat besar? Ternyata, kecilnya volume ekspor disebabkan terbatasnya pasokan rajungan dari nelayan. Terbatasnya pasokan disebabkan rendahnya kemampuan finansial nelayan.

UUD. Ujung-ujungnya duit!

Tidak banyak yang memiliki perhatian kepada nelayan rajungan. Termasuk perbankan. Alasannya klasik: collateral.

Dalam ‘’lingkaran setan’’ yang tak berujung-pangkal itu, Sieger Jaya Abadi menemukan beberapa lembaga keuangan mikro yang memiliki kepedulian kepada nelayan rajungan.

Dibuatlah kerjasama yang melibatkan tiga pihak: Sieger Jaya Abadi, nelayan dan lembaga keuangan mikro.

Untuk menangkap rajungan, nelayan mengajukan pinjaman kepada lembaga keuangan mikro. Hasilnya dijual kepada Sieger Jaya Abadi. Selanjutnya, Sieger Jaya Abadi membayar rajungan melalui lembaga keuangan mikro.

Sudah lima bulan pola tersebut berjalan di lampung. Semua pihak merasa diuntungkan.

Nelayan mendapat kepastian modal kerja dan pembeli. Sieger Jaya Abadi mendapat kepastian pasokan rajungan. Lembaga keuangan mikro mendapat kepastian nasabah kredit, sekaligus kapastian pembayaran.

Selesai? Tidak juga.

Lagi-lagi soal duit! Kemampuan lembaga keuangan mikro ternyata terbatas. Harap maklum, lembaga tersebut bukan bank. Modalnya terbatas.

Tapi justru itulah peluangnya. Bila punya lembaga keuangan dan tertarik dengan bisnis rajungan, Anda bisa mengambil kesempatan.  Anda bisa membangun usaha ‘’mini plant’’, untuk mengolah rajungan mentah menjadi daging rajungan matang.

Pemilik mini plant tidak perlu khawatir dengan pasar. Sebab, semua produksi sudah pasti dibeli. Agar sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan regulator USA, Sieger Jaya Abadi akan menempatkan supervisor yang menjalankan tugas quality control di setiap mini plant.

Mini plant adalah unit pabrik berskala kecil. Investasinya kurang dari Rp 100 juta. Mini plant bisa menjadi sarana untuk mempersatukan nelayan penangkap rajungan dalam badan hukum koperasi, konvensional maupun syariah.


Bisnis berjamaah. Mungkin, ini salah satu solusi bagi nelayan tanpa cantrang!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Berita Video ke Redaksi TV

Panduan Praktis Menulis Biografi

Peluang Bisnis Tahu Nigarin Organik